Latest and Trending Videos

Pasar Modal & Pasar Keuangan

World

Music

Sport

My Youtube

Adobe Premiere Pro CC 2017 Tutorials

Dreamweaver CC 2017

Trending Vidoes From Akademika

Tuesday, May 10, 2016

Perjanjian Yang Kokoh

By: Unknown on: 8:05 PM

Tuesday, April 26, 2016

Bolo

By: Unknown on: 9:24 PM

Monday, March 21, 2016


ULAMA:ILMUWAN YG AGAMAWAN DAN AGAMAWAN YG ILMUWAN

Tulisan ini terinspirasi dari ajakan Sadari Abi Fahmi di Grup WhatsApp Diskursus Ilmiah Dosen pada tanggal 21 Maret 2016. Menurutnya “Ilmuwan dan agamawan itu dua hal yang berbeda, cirinya kalau ilmuwan memandang sesuatu yang kecil dijawab dengan sedemikian rumit, sedangkan agamawan memandang sesuatu yang besar dijawab dengan sedemikian mudah”. Ajakan diskusi ini mengingatkan tulisan artikel saya di majalah Amanah nomor 64 tanggal 16-29 Desember 1988 M. atau 7-20 Jumadil Awal 1409 H. tentang  komentar atas komentar Abdurrahman Mas’ud terhadap tulisan Dr.Mochtar Buchori perihal ULAMA-INTELETUAL.

Pihak kolonial pada pertengahan abad ke 19 dengan sengaja mendikotomikan agamawan dengan ilmuwan dimana agamawan diidentikkan dengan ulama sementara ilmuwan lebih pada intelektual sekular. Konsekwensinya, terjadilah penyempitan fungsi ulama. Agenda yang disembunyikannya adalah memecah belah persatuan dan kesatuan umat. Dan pada ahirnya warisan kolonial ini dijadikan kriteria penilaian terhadap ulama.

Dikotomi dan dualisme tersebut masih ada benang merahnya dengan sejarah lahirnya dualisme dan dikotomi dalam pendidikan kita: antara lain  sistem pendidikan agama (madrasah dan pesantren) dan sistem pendidikan umum (sekolah umum), antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Warisan ini begitu fenomenalnya sehingga kita tidak dapat menangkap persoalan mendasar tentang pengertian dan konsepsi pendidikan menurut ajaran islam sebagai implikasi hakekat, tujuan dan misi manusia dijadikan Tuhan di muka bumi ini, dan pada gilirannya tidak dapat menangkap pula pengertian ulama sebagai khalifah fil-ard(wakil Tuhan di bumi).


Khalifah Fil-Ard

Setiap konsepsi yang berkenaan dengan tugas dan misi manusia di muka bumi selalu bertumpu pada pandangan dan asumsi dasar tentang manusia serta implikasinya:Siapa dan bagaimanakah manusia itu? Jawaban terhadap pertanyaan itu selalu bertumpu pada pandangan dan keimanan tentang hakikat dan tujuan manusia di dunia ini, arti dan tujuan hidupnya dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama,dirinya sendiri dan alam sekitarnya.Anggapan Yahudi, Nasrani dan Islam, misalnya, akan mempunyai konsepsi yang berbeda tentang misi dan fungsi manusia serta bagaimana cara “berada” manusia itu. Perbedaan itu juga tergantung kepada bagaimana masing-masing wahyu agama mereka memandang manusia itu sendiri. Jadi, konsepsi ulama menurut orang-orang Nasrani, Yahudi, Kresten, dan Islam sebagai implikasi hakikat peran manusia-satu dengan lainnya- berbeda-beda pula.

Bebarapa asumsi dasar manusia menurut ajaran Islam, yang mempunyai implikasi yang amat penting bagi konsepsi ulama adalah:

Pertama, manusia dijadikan Tuhan dalam sebaik-baik bentuk (Qs.At-Tin:4) dan dimuliakan Tuhan di atas mahluk-mahluk lain(QS.Al-Isra’:70) serta dilahirkan dengan fitrah(QS.Ar-Rum:30). Allah memberi potensi akal agar manusia membaca bukti-bukti kebenaran, dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa ulama bani Israil mengetahuinya(QS.Asy-Syura:197). Lalu terpatrilah keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa(QS.Al-A’raf:172), kemampuan untuk memikul amanah(QS.Al-Ahzab:72) dan tanggung jawab secara etis (QS.Al-Baqarah:48,123,134,139,141,233,dan 286) sebagai khalifah(QS.Al-Baqarah:30, dan QS.Al-An’am:165).
Kedua, tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi kepadaNya(mengabdi dalam arti luas)(QS.Adz-Dzariah:56 dan QS.Al-Baqarah:201).
Ketiga,sebagai prasyarat tujuan tersebut maka manusia haruslah beriman, bertakwa,, berakhlak mulia,dan berilmu(QS.2:145,242,255;QS.3:61; QS.4:162,166; QS.6:100; QS.11:14; QS.12:22; QS.13:43 dan seterusnya). Allah mengangkat derajat orang-orang  yang berilmu(QS.58:11) karena merekalah yang mampu membaca kehidupan  dan mengetahui kebesaran Allah(QS.96:1,2,3,4,5,6). Dan pada akhirnya, di antara umat manusia yang tunduk kepada Allah hanyalah ulama(QS.35:28).
Keempat,dengan bekal tersebut manusia masih harus mengelola alam demi kesejahteraan umat manusia(QS.Al-Baqarah:29,QS.Luqman:20 dan QS.Al-Jatsiah:13).
Adanya anggapan dasar tentang manusia menurut ajaran Islam tersebut berimplikasi kepada terminologi ulama:Ilmuwan yang agamawan dan agamawan yang ilmuwan. Pertama, ulama pewaris para Nabi, yang di dalam dirinya tidak mengenal dikotomi ilmuwan dan agamawan.Kedua, ulama membaca kehidupan, tidak hanya yang tersurat, namun juga yang tersirat. Ketiga, dirinya tidak diposisikan sebagai obyek, namun lebih pada subyek. Keempat, ulama dapat membaca zaman dan tanda-tanda zaman. Kelima, ulama menyadari eksistensi kejadian dirinya sama dengan yang lainnya. Kualitas dirinya dianggap hal yang dinamis, bukan statis. Kualitas itu menuju kepada artikulasi fitrawiyah yang positif dan menekan potensi-potensi kebalikannya, negatif. Keenam,Ia mengemban misi amar ma’ruf nahi mungkar baik sebagai agent of social change maupun social control. Ketujuh, selamanya ia mengabdikan dirinya untuk kepentingan mahluk Tuhan(dunia manusia, dunia hewan, dan dunia tumbuh-tumbuhan). Kedelapan, ulama itu mengenali batasan dan tidak melampaui batasan. Akalnya senantiasa memayungi hatinya. Tidak condong ke Barat dan ke Timur. Ia ibarat minyak zaitun yang jiwanya akan terus menyala walau tanpa disentuh dengan api. Last but not least, ulama tidak pernah tunduk kepada apapun dan siapapun kecuali hanya pada Sang Pencipta Hidup.”Di antara umat manusia yang tunduk kepadaKu hanyalah ulama(QS.35:28).

Warisan Kolonial
Sejarah perjuangan nasional masa lampau mewariskan jalur pendidikan(dualisme pendidikan) yang efeknya menimbulkan dikotomi dan dualisme ilmuwan dan agamawan. Jalur pertama adalah jalur pendidikan model Barat, bersifat intelektualistik, rasional, elitis, berorientasi kepada birokrasi. Jalur kedua, jalur pendidikan model pesantren, bersifat relegius, cenderung dogmatis atau minimal doktriner, populis,berorientasi kepada politik.
Dari dua jalur tersebut, lahirlah dikotomi yang sangat tajam antara ilmuwan dan agamawan. Maka, tampilnya KH.Ahmad Dahlan adalah jelas berlatar belakang sejarah nasional tadi(mencita-citakan perkawinan profil yang dualistik itu dengan mengharapkan tampilnya insan-insan yang mempunyai kepribadian utuh, yakni sosok ilmuwan yang agamawan dan atau agamawan yang ilmuwan). Juga demikian halnya dengan KH.Hasyim Asy’ari sehingga berdiri NU, bukan sekadar ekspresi Islam Kultural, namun ekspresi perkawinan kedua profil tersebut.

Implikasi
Implikasi dikotomi Ilmuwan dan Agamawan ini sangat terasa pada dualisme sistem  pendidikan kita, yang memisahkan dan membedakan “ilmu agama” dan “ilmu umum”, yang membawa ekses munculnya persepsi bahwa wilayah agama dan moralitas terpisah secara diametral dengan wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi. Gus Dur pernah berikhtiar untuk menghilangkan hambatan yang selama ini dirasa mengelayuti Sistem Pendidikan Nasional. Gagasan pendidikan nasional satu atap perlu direalisiasikan, tidak sekadar diwacanakan .

 Bagi kita, sudah saatnya untuk memaknai ULAMA sebagai Ilmuwan yang Agamawan dan Agamawan yang Ilmuwan sekaligus. Ingat ganasnya kekuasaan, ganasnya bahasa.

ULAMA:Ilmuwan yg Agamawan dan Agamawan yg Ilmuwan

By: Unknown on: 7:43 PM

Tuesday, February 23, 2016

Sukuk Negara Ritel 008 2016

By: Unknown on: 4:31 AM

Monday, February 22, 2016

NIKAH YUK!!

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu  cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(30:21). “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”(7:189). “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi:dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinailah seorang saja”(4:3).  “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”(2:187). “Dialah yang menjadikan untukmu malam sebagai pakaian”(25:47). “Dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”(7:189).
Ibnu Mas’ud berkata,”Meski sisa usiaku tinggal 10 hari, aku lebih senang untuk menikah supaya aku tidak bertemu Allah dalam keadaan membujang”.
Dr.Hafilberg, direktur rumah sakit jiwa di New York mengatakan,”Orang lajang yang masuk rumah sakit jiwa jumlahnya 4 kali lipat lebih besar dibanding orang yang menikah”. Hasil penelitian terbaru dikeluarkan oleh Newsmaxhealth. Tim peneliti dari Duke University Medical Center, North Carolina menunjukkan bahwa orang yang menikah dapat meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang di usia paruh baya, kesejahteraan ini berhubungan dengan kesehatan. Sebaliknya, jika seseorang memilih tidak menikah memiliki peluang tiga kali meninggal lebih cepat dibanding rekan mereka yang menikah.
Penelitian ini juga menemukan bahwa menjadi lajang setelah usia 40 tahun atau tidak memiliki pasangan (setelah bercerai atau pasangan meninggal) akan meningkatkan risiko meninggal lebih awal di usia paruh baya. Keuntungan lain bagi pasangan menikah adalah perubahan perilaku tidak sehat, misalnya saja tidak merokok atau berhenti minum minuman beralkohol.
"Memiliki pasangan saat usia paruh baya adalah bentuk perlindungan," demikian yang dijelaskan Ilene Siegler, salah seorang peneliti.
Studi dari University of California menemukan bahwa orang yang menikah akan lebih bahagia dan mampu mengurangi kadar stresnya dibandingkan dengan orang yang tak menikah. Peneliti mengambil sampel air liur partisipan untuk menguji tingkat kortisol (hormon stres), diketahui orang yang menikah memiliki kadar kortisol yang lebih rendah sehingga tingkat stresnya lebih kurang.
Studi trebaru yang dilakukan oleh Tel Aviv University menunjukkan pernikahan bahagia bisa membantu mencegah stroke fatal pada laki-laki. Didapatkan laki-laki yang tidak menikah memiliki risiko 64 persen lebih tinggi terkena stroke fatal dibandingkan dengan laki-laki menikah
Orang setengah baya yang hidup sendiri dua kali lebih mungkin mengalami demensia dan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan orang yang menikah. Sedangkan orang yang bercerai pada usia setengah baya akan membuatnya memiliki risiko 3 kali lipat. Hasil ini berdasarkan penelitian yang dipimpin oleh Miia Kivipelto dari Swedish Medical University Karolinska Institutet.
Berdasarkan penelitian dari Brigham Young University diketahui laki-laki dan perempuan yang menikah akan memiliki tekanan darah lebih rendah dibandingkan dengan lajang. Hal ini karena pada umumnya orang-orang tersebut memiliki sistem yang lebih teratur dan tidak terlalu cuek lagi dengan kesehatan dirinya sendiri.
Pernikahan umumnya memberikan dukungan sosial dan juga emosional sehingga dapat mengurangi depresi serta kecemasan seseorang. Bahkan sebuah studi menunjukkan orang yang sudah memiliki depresi akan mendapatkan dorongan psikologis dari pernikahannya. Hasil studi ini dilaporkan dalam Journal of Health and Social Behavior.
Sebelum menikah umumnya seseorang tidak terlalu memperhatikan kondisi tubuhnya dan bertindak sesuka hati. Tapi studi menunjukkan pernikahan bisa membuat seseorang lebih sedikit terlibat dalam perilaku berisiko seperti mengonsumsi alkohol, sering pulang malam dan juga tidak merawat diri. Hal ini karena ada orang-orang yang harus ia perhatikan selain dirinya sendiri. Selain itu jika ia sudah memiliki anak umumnya akan lebih jauh berperilaku sehat 


Nikah Yuk!!!

By: Unknown on: 8:49 PM

Friday, September 25, 2015


Inspiring and sad Video ( it really makes you cry)

By: Unknown on: 9:06 AM

Saturday, September 19, 2015

"

Tingkat Kupon SBR-01 Periode 21 Agustus 2015- 20 November 2015

By: Unknown on: 6:56 AM

"

Penjualan ORI Seri 012

By: Unknown on: 6:49 AM

 
Copyright © Akademika | Designed by Templateism.com | Yahore