ULAMA:ILMUWAN YG AGAMAWAN DAN AGAMAWAN YG ILMUWAN
Tulisan ini terinspirasi dari ajakan Sadari
Abi Fahmi di Grup WhatsApp Diskursus Ilmiah Dosen pada tanggal 21 Maret 2016.
Menurutnya “Ilmuwan dan agamawan itu dua hal yang berbeda, cirinya kalau ilmuwan
memandang sesuatu yang kecil dijawab dengan sedemikian rumit, sedangkan
agamawan memandang sesuatu yang besar dijawab dengan sedemikian mudah”. Ajakan
diskusi ini mengingatkan tulisan artikel saya di majalah Amanah nomor 64
tanggal 16-29 Desember 1988 M. atau 7-20 Jumadil Awal 1409 H. tentang komentar atas komentar Abdurrahman Mas’ud
terhadap tulisan Dr.Mochtar Buchori perihal ULAMA-INTELETUAL.
Pihak kolonial pada pertengahan abad ke 19
dengan sengaja mendikotomikan agamawan dengan ilmuwan dimana agamawan
diidentikkan dengan ulama sementara ilmuwan lebih pada intelektual sekular.
Konsekwensinya, terjadilah penyempitan fungsi ulama. Agenda yang
disembunyikannya adalah memecah belah persatuan dan kesatuan umat. Dan pada
ahirnya warisan kolonial ini dijadikan kriteria penilaian terhadap ulama.
Dikotomi dan dualisme tersebut masih ada
benang merahnya dengan sejarah lahirnya dualisme dan dikotomi dalam pendidikan
kita: antara lain sistem pendidikan
agama (madrasah dan pesantren) dan sistem pendidikan umum (sekolah umum),
antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Warisan ini begitu
fenomenalnya sehingga kita tidak dapat menangkap persoalan mendasar tentang
pengertian dan konsepsi pendidikan menurut ajaran islam sebagai implikasi
hakekat, tujuan dan misi manusia dijadikan Tuhan di muka bumi ini, dan pada
gilirannya tidak dapat menangkap pula pengertian ulama sebagai khalifah
fil-ard(wakil Tuhan di bumi).
Setiap konsepsi yang
berkenaan dengan tugas dan misi manusia di muka bumi selalu bertumpu pada
pandangan dan asumsi dasar tentang manusia serta implikasinya:Siapa dan
bagaimanakah manusia itu? Jawaban terhadap pertanyaan itu selalu bertumpu pada
pandangan dan keimanan tentang hakikat dan tujuan manusia di dunia ini, arti
dan tujuan hidupnya dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama,dirinya sendiri dan
alam sekitarnya.Anggapan Yahudi, Nasrani dan Islam, misalnya, akan mempunyai
konsepsi yang berbeda tentang misi dan fungsi manusia serta bagaimana cara
“berada” manusia itu. Perbedaan itu juga tergantung kepada bagaimana
masing-masing wahyu agama mereka memandang manusia itu sendiri. Jadi, konsepsi
ulama menurut orang-orang Nasrani, Yahudi, Kresten, dan Islam sebagai implikasi
hakikat peran manusia-satu dengan lainnya- berbeda-beda pula.
Bebarapa asumsi dasar manusia
menurut ajaran Islam, yang mempunyai implikasi yang amat penting bagi konsepsi
ulama adalah:
Pertama, manusia dijadikan Tuhan dalam sebaik-baik bentuk
(Qs.At-Tin:4) dan dimuliakan Tuhan di atas mahluk-mahluk lain(QS.Al-Isra’:70)
serta dilahirkan dengan fitrah(QS.Ar-Rum:30). Allah memberi potensi akal agar
manusia membaca bukti-bukti kebenaran, dan apakah tidak cukup menjadi bukti
bagi mereka, bahwa ulama bani Israil mengetahuinya(QS.Asy-Syura:197). Lalu
terpatrilah keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa(QS.Al-A’raf:172), kemampuan
untuk memikul amanah(QS.Al-Ahzab:72) dan tanggung jawab secara etis
(QS.Al-Baqarah:48,123,134,139,141,233,dan 286) sebagai
khalifah(QS.Al-Baqarah:30, dan QS.Al-An’am:165).
Kedua, tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi
kepadaNya(mengabdi dalam arti luas)(QS.Adz-Dzariah:56 dan QS.Al-Baqarah:201).
Ketiga,sebagai prasyarat tujuan tersebut maka manusia
haruslah beriman, bertakwa,, berakhlak mulia,dan
berilmu(QS.2:145,242,255;QS.3:61; QS.4:162,166; QS.6:100; QS.11:14; QS.12:22;
QS.13:43 dan seterusnya). Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu(QS.58:11) karena merekalah yang
mampu membaca kehidupan dan mengetahui
kebesaran Allah(QS.96:1,2,3,4,5,6). Dan pada akhirnya, di antara umat manusia
yang tunduk kepada Allah hanyalah ulama(QS.35:28).
Keempat,dengan
bekal tersebut manusia masih harus mengelola alam demi kesejahteraan umat
manusia(QS.Al-Baqarah:29,QS.Luqman:20 dan QS.Al-Jatsiah:13).
Adanya
anggapan dasar tentang manusia menurut ajaran Islam tersebut berimplikasi
kepada terminologi ulama:Ilmuwan yang agamawan dan agamawan yang ilmuwan.
Pertama, ulama pewaris para Nabi, yang di dalam dirinya tidak mengenal dikotomi
ilmuwan dan agamawan.Kedua, ulama membaca kehidupan, tidak hanya yang tersurat,
namun juga yang tersirat. Ketiga, dirinya tidak diposisikan sebagai obyek,
namun lebih pada subyek. Keempat, ulama dapat membaca zaman dan tanda-tanda
zaman. Kelima, ulama menyadari eksistensi kejadian dirinya sama dengan yang
lainnya. Kualitas dirinya dianggap hal yang dinamis, bukan statis. Kualitas itu
menuju kepada artikulasi fitrawiyah yang positif dan menekan potensi-potensi
kebalikannya, negatif. Keenam,Ia mengemban misi amar ma’ruf nahi mungkar baik
sebagai agent of social change maupun social control. Ketujuh, selamanya ia
mengabdikan dirinya untuk kepentingan mahluk Tuhan(dunia manusia, dunia hewan,
dan dunia tumbuh-tumbuhan). Kedelapan, ulama itu mengenali batasan dan tidak
melampaui batasan. Akalnya senantiasa memayungi hatinya. Tidak condong ke Barat
dan ke Timur. Ia ibarat minyak zaitun yang jiwanya akan terus menyala walau
tanpa disentuh dengan api. Last but not least, ulama tidak pernah tunduk kepada
apapun dan siapapun kecuali hanya pada Sang Pencipta Hidup.”Di antara umat
manusia yang tunduk kepadaKu hanyalah ulama(QS.35:28).
Sejarah
perjuangan nasional masa lampau mewariskan jalur pendidikan(dualisme
pendidikan) yang efeknya menimbulkan dikotomi dan dualisme ilmuwan dan
agamawan. Jalur pertama adalah jalur pendidikan model Barat, bersifat
intelektualistik, rasional, elitis, berorientasi kepada birokrasi. Jalur kedua,
jalur pendidikan model pesantren, bersifat relegius, cenderung dogmatis atau
minimal doktriner, populis,berorientasi kepada politik.
Dari
dua jalur tersebut, lahirlah dikotomi yang sangat tajam antara ilmuwan dan
agamawan. Maka, tampilnya KH.Ahmad Dahlan adalah jelas berlatar belakang
sejarah nasional tadi(mencita-citakan perkawinan profil yang dualistik itu
dengan mengharapkan tampilnya insan-insan yang mempunyai kepribadian utuh,
yakni sosok ilmuwan yang agamawan dan atau agamawan yang ilmuwan). Juga
demikian halnya dengan KH.Hasyim Asy’ari sehingga berdiri NU, bukan sekadar
ekspresi Islam Kultural, namun ekspresi perkawinan kedua profil tersebut.
Implikasi
dikotomi Ilmuwan dan Agamawan ini sangat terasa pada dualisme sistem pendidikan kita, yang memisahkan dan
membedakan “ilmu agama” dan “ilmu umum”, yang membawa ekses munculnya persepsi
bahwa wilayah agama dan moralitas terpisah secara diametral dengan wilayah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Gus Dur pernah berikhtiar untuk menghilangkan
hambatan yang selama ini dirasa mengelayuti Sistem Pendidikan Nasional. Gagasan
pendidikan nasional satu atap perlu direalisiasikan, tidak sekadar diwacanakan .
Bagi kita, sudah saatnya untuk memaknai ULAMA
sebagai Ilmuwan yang Agamawan dan Agamawan yang Ilmuwan sekaligus. Ingat ganasnya kekuasaan, ganasnya bahasa.